Pikiranmadani.com, Banda Aceh, Hari ini, para tokoh perempuan Aceh melakukan kajian pertemuan penting di Jalan Tenggiri Lamprit tepatnya pada kediaman rumah Ibu Dahlia di Banda Aceh. Pertemuan ini diadakan sebagai respons pasca disahkannya Undang-Undang No. 18 mengenai alat kontrasepsi, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan generasi muda di Aceh. (Selasa 14 Agustus 2024).
Dalam pertemuan tersebut, Ibu Dahlia menegaskan atas pentingnya mendiskusikan dampak atas kebijakan pemerintah untuk menyelamantkan generasi Aceh pasca disahkan regulasi terbaru ini. Undang-Undang No. 18, yang mengatur penggunaan alat kontrasepsi bagi remaja, telah disahkan oleh pemerintah saat ini, meskipun sebelumnya ditolak oleh tokoh-tokoh perempuan Aceh seperti Ibu Raihan Putri dan rekan-rekannya pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pertemuan ini, Ibu Raihan Putri kembali hadir untuk menegaskan penolakannya terhadap regulasi tersebut. Para peserta, yang merupakan perwakilan dari organisasi perempuan Islam di Aceh, menolak dengan tegas Undang-Undang No. 28 tentang alat kontrasepsi bagi remaja, karena hasil kajian mereka menyimpulkan bahwa keberadaan Undang-Undang dinilai cukup meresahkan masyarakat Aceh karena bisa memberikan pesan yang keliru mengenai kebebasan seksual pada remaja yang masih dianggap anak-anak dan belum seharusnya menikah menurut norma yang berlaku dan kebijakan yang tidak pancasilais.
Selain isu legalitas penggunaan alat kontrasepsi, pertemuan ini juga mengangkat berbagai fenomena pelanggaran Syariat Islam di Aceh yang sangat memprihatinkan terjadi di kalangan generasi muda Aceh lewat pengaulan yang melampauai kepantasan nilai syariat. Oleh karenyanya para tokoh Perempuan Aceh dalam pertemuan ini juga menekankan atas pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat, dan lembaga-lembaga khusus di Aceh untuk menangani masalah ini dengan langkah-langkah yang nyata. Beberapa tokoh perempuan juga memberikan pandangan mengenai perlunya perhatian terhadap anak-anak yatim piatu dan terlantar serta menjaga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Sebagai langkah nyata, para tokoh perempuan sepakat untuk membentuk tim formatur yang akan menyusun peta konsep solusi. Tim ini bertugas merancang rencana strategis yang akan diimplementasikan dalam tindakan konkret di lapangan. Hasil kerja tim akan disampaikan dalam audiensi dengan para pengambil kebijakan di Provinsi Aceh, serta seluruh organisasi perempuan dan lembaga keistimewaan Aceh. Audiensi ini bertujuan untuk memastikan bahwa rekomendasi dan solusi yang diajukan mendapatkan dukungan serta pelaksanaan yang efektif.
Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai elemen, termasuk guru, anggota Wilayatul Hisbah (WH), Muslimah NU, WSI, WI, Salimah, BMIWI, PWNA, PW Aisyiyah, Perwati, Forsap, serta akademisi dan masyarakat umum. Para peserta sepakat untuk terus berkomitmen dalam melindungi generasi muda Aceh dan menjaga nilai-nilai Syariat Islam. Mereka yang hadir dipertemuan tersebut merupakan kumpulan tokoh perempuan dari berbagai organisasi di Aceh yang berkomitmen untuk membahas dan menyelesaikan isu-isu penting terkait hak-hak perempuan, perlindungan anak, dan penerapan nilai-nilai Syariat Islam di Aceh. (*)